Pada tanggal 30 September, sebuah aksi unjuk rasa besar-besaran berlangsung di depan gedung kantor DPR, di kota Jakarta. Demonstrasi dipelopori oleh Mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia. Mereka bersatu memprotes kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR, karena telah merevisi UU KPK. Mahasiswa berang dengan keputusan itu. Aparat yang berjaga-jaga pada hari itu menjadi sasaran kemarahan para demonstran. Aksi dorong-mendorong antara Mahasiswa dan aparat Kepolisian tidak dapat dihindarkan.
Aksi unjuk rasa semakin brutal ketika anak STM mulai ikut-ikutan melakukan aksi demonstrasi. Media-media tanah air meliput aksi unjuk rasa itu dan menjadikannya berita utama. Majalah Tempo membuat cover sindiran bergambar Presiden Jokowi dengan bayangannya memiliki hidung panjang seperti Pinokio, yang memberi kesan kuat bahwa Presiden telah berbohong. Pihak Istana berang! Bahkan cover itu membuat pendukung Jokowi marah dan menuding Tempo sudah menghina kepala Negara.
Dalam aksi itu, para Mahasiswa mendesak agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang baru disahkan itu. Beberapa tokoh penting tanah air juga banyak yang mendukung aksi demonstrasi itu. Tapi tidak sedikit juga masyarakat yang mengutuk aksi unjuk rasa itu dan mendukung keputusan Presiden dan DPR dalam merevisi UU KPK yang baru.
Masyarakat menjadi terbagi dua, antara pro dan kontra. Penggiringan opini terjadi dimana-mana. Tidak jelas siapa yang harus dipercaya, semua tetap berpegang kepada apa yang dipercayainya. Para penolak revisi UU KPK yang baru menyatakan bahwa, revisi itu dapat melemahkan kinerja KPK dalam memberantas korupsi, bagi mereka, biarkan KPK tetap Independen dalam melakukan tugasnya. Seperti itulah wajah KPK yang mereka inginkan, dan setiap penyadapan yang ingin dilakukan KPK, tidak perlu izin siapapun, terbukti, KPK saat inilah paling banyak melakukan OTT sepanjang sejarah KPK berdiri. Bagi mereka OTT adalah sebuah kesuksesan, sepintas rakyat kelihatan puas dengan kinerja KPK. Sebaliknya, pendukung revisi UU KPK yang baru menyatakan bahwa revisi itu memang sudah sepantasnya dilakukan, karena mereka menganggap KPK hanya bisa menangkap kejahatan korupsi yang terhitung kecil dibanding wewenang yang diberikan kepada mereka, bahkan bagi yang setuju revisi UU KPK menyatakan bahwa, dibanding OTT, pencegahanlah lebih baik daripada penindakan.
Mengapa ada dua sudut pandang yang berbeda terhadap OTT? Tidak jelas mana yang harus kita percaya, pertanya itu sulit dijawab karena ada perbedaan pandangan politik yang begitu cukup lebar antara yang pro dan kontra. Tapi pertanyaan yang paling pentingnya adalah, perlukah KPK diawasi mengingat begitu banyak pejabat korupsi terjaring OTT?
Salah satu orang yang paling getol dalam mengkritik kinerja KPK adalah, wakil ketua DPR, Fahri Hamzah, yang ketika saat itu menjabat. Dia mengkritik KPK karena, menurutnya KPK merasa sebagai sebuah lembaga paling suci yang tidak bisa dikritik. Fahri Hamzah berang! "Daripada merasa paling suci, sebaiknya KPK dalam melakukan tugasnya harus menggandeng dua lembaga lainya yaitu: Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi." katanya.
Bahkan Fahri Hamzah mengatakan, jika dia Presiden dalam waktu kurang lebih setahun, korupsi di Indonesia tidak ada lagi. Pernyataan itu sepertinya terlalu percaya diri dan tentu saja itu sebagai sindiran keras terhadap KPK. Baginya OTT adalah kegagalan! Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum pidana Profesor Romli Atmasasmita. "OTT hanya menyenangkan masyarakat, tapi Negara tidak mendapatkan apa-apa." katanya.
Prof Romli adalah salah satu penggagas UU KPK pada waktu dibentuk tahun 2002. Karena maraknya korupsi pada masa itu, maka prof Romli ingin melakukan pencegahan, itulah filosofi awalnya "pencegahan". Menurut Prof Romli, OTT itu bukan cara yang tepat dalam menangani korupsi di Indonesia. Penindakan itu harus, tetapi pencegahanlah yang paling tepat dalam menangani korupsi.
Dalam satu wawancaranya di media, dia ditanyai oleh wartawan tentang revisi UU KPK, apakah itu perlu, mengingat banyak yang menolak revisi itu? "Ya, itu perlu." katanya. Menurutnya KPK saat ini terjebak dengan penindakan (OTT), seolah-olah cara itu berhasil, tapi ternyata tidak.
Dalam definisi berhasil, menurut prof Romli : sesuatu dikatakan berhasil jika tidak ada lagi penangkapan yang terjadi, bukan sebaliknya. Jadi menurut prof Romli, yang harus dilakukan KPK adalah, bekerja sama dengan dua lembaga lainnya yang dipercaya untuk memberantas korupsi, KPK harus bekerjasama. Biar bagaimanapun, dulu, awalnya tugas KPK adalah membantu tugas kepolisian dan kejaksaan, supaya kerjanya lebih baik. Tugas utama KPK adalah mendorong, bukan tugas kewenangannya saja, seperti menyadap tanpa izin, mencekal orang saat penyidikan, tapi juga ada tugas tanggungjawab yang lain: pertama, kordinasi supervisi dengan kepolisian/kejaksaan, dengan kementrian lembaga, kedua, monitoring, evaluasi, yang sifatnya adalah mencegah.
Lama-kelamaan KPK hanya fokus menangkap orang-orang, menurut prof Romli, itu KPK seakan-akan merasa tidak kerja kalau ngak nangkap orang. KPK merasa kalau nangkap itu adalah kerja. Hal itulah yang dikritisi oleh prof Romli, harusnya KPK melakukan dua hal, yaitu menindak dan mencegah, itu adalah tugas utamanya, bukan hanya menindak saja. Jadi, harapan prof Romli adalah, begitu KPK menindak suatu lembaga, maka KPK harus melakukan kordinasi supervisi, bukan malah meninggalkan lembaga itu setelah ada penindakan, harusnya lembaga itu diawasi, manajemennya diperbaiki sampai benar, setelah itu baru ditinggal.
Dan satu tugas yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan oleh KPK adalah, mengembalikan kerugian negara. Selama ini penindakan tidak berhasil melakukan itu, KPK gagal mengembalikan kerugian negara. Memang KPK berhasil mengembalikan kerugian negara, tapi itu tak sebanding yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk anggaran mereka. Dalam laporan 'Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018' yang dilansir website resmi KPK misalnya, tertulis pada 2018, KPK melakukan sebanyak 28 OTT atau yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga tersebut, dengan penyelamatan uang negara sebesar Rp 500 miliar. Sementara anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan yakni Rp 744,7 miliar.
Sementara penyelamatan uang negara oleh Polri dari kasus korupsi jauh lebih tinggi dari KPK, yakni Rp 2,3 triliun pada 2018. Kemudian di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan Rp 326 miliar.
Itulah sebabnya Prof Romli dan sebagian orang setuju KPK harus diawasi, maksudnya adalah agar KPK tidak bekerja sendiri-sendiri dan harus fokus dengan tugas utamanya, yaitu "penindakan dan pencegahan." Terlepas dari adanya isu Taliban didalam tubuh KPK, yang terpenting adalah tetap mengawasi KPK dalam bekerja, agar mampu mengembalikan kerugian negara.
Saya setuju KPK perlu diawasi, mengapa? karena sejatinya kita adalah manusia, tanpa pengawasan kita rentan berbuat tidak jujur. Dalam salah satu penelitian terkenal yang dilakukan oleh ekonom Dan Ariely tentang kejujuran, dia menyimpulkan bahwa "kita bisa berharap diri kita dikelilingi oleh orang-orang baik dan bermoral, tetapi kita harus realistis. Bahkan orang baik tidak kebal terhadap kebutaan parsial dari pikiran mereka sendiri. Kebutaan ini membuat mereka melakukan tindakan yang menghindari standar moral mereka sendiri di jalan menuju ganjaran finansial. Pada intinya, motivasi bisa menipu kita walaupun kita adalah orang yang baik dan bermoral."